Minggu, 08 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
22 April 2008
Posted by iman under: HUKUM & ETIKA; INDONESIANA .
Dalam bukunya “ Manusia Indonesia “ , Mochtar Lubis sudah memasukan korupsi dalam elemen Hipokrit dan Munafik sebagai salah satu ciri ciri manusia Indonesia. Lebih jauh dikatakan, manusia Indonesia bukan economic animal dan cenderung boros, tidak suka bekerja keras dan inginnya serba cepat kaya. Entah ini benar atau tidak, namun ada yang selalu saya kagumi dari Mohtar Lubis - terutama dari buku buku karyanya.- yakni konsistensi untuk menyuarakan keadilan, kejujuran dan nurani.
Ia memimpin Koran Indonesia Raya yang suka mengangkat kasus korupsi sehingga dibreidel pada jaman Soekarno maupun Orde Baru. Dalam tulisannya ia juga kerap menyinggung hal ini. Seperti dikisahkan dalam novelnya “ Maut dan Cinta “. Kisah para pejuang kemerdekaan yang menghadapi godaan korupsi saat ditugaskan mencari senjata di Singapura dari uang penjualan gula dan karet.
Lalu “ Senja di Jakarta “ secara tidak langsung menyindir praktek praktek kolusi dan korupsi di perusahaan negara.
Harta memang membutakan segalanya. Seorang pejuang idealis dan siapapun termasuk wakil rakyat di parlemen. Almarhum Profesor Soemitro pernah mengatakan hampir 30 % dana bantuan luar negeri bocor di korup oleh birokrat dan kroni kroninya. Di Halmahera saya melihat harga pengadaan paket peralatan selam yang paling mahal seharga 20 juta dibanderol dalam budget anggaran dinas kabupaten menjadi 200 juta. Di mark up hampir 1000 % !
Ada yang membedakan mengapa korupsi demikian susah diberantas di Indonesia dibanding Cina misalnya. Efek jera dari punishment masih terlalu lunak di sini. Denny Indrayana mengatakan sebuah penelitian dari Pengadilan Tipikor – Tindak Pidana Korupsi, pada tahun 2007 rata rata berkisar hukuman 4,5 tahun penjara. Belum ditambah remisi, pengurangan hukuman serta hotel prodeo yang bisa disulap dengan berbagai fasilitas, tidak membuat efek jera yang maksimum.
Kalau kita melihat ke Cina, dan Vietnam sekarang. Dari awal, para tersangka sudah digiring ke pengadilan memakai baju narapidana. Diphoto dengan wajah tertunduk. Ini secara psikologis bisa membuat cacat sosial di lingkungan dan keluarganya. Sementara proses pengadilan hanya satu kali. Apa yang diputuskan oleh hakim langsung mengikat dan definitive. Biasanya hukuman seumur hidup atau hukuman mati. Tidak ada tahap banding di pengadilan tinggi atau Kasasi di Mahkamah Agung. Apalagi permintaan Peninjauan Kembali.
Bandingkan disini dimana para tersangka bisa melalukan konferensi pers dengan memakai jas mahal dengan para pengacaranya. Ia masih bisa mondar mandir, mangkir menghindari panggilan hakim. Bahkan kalau perlu kabur ke luar negeri.
Pemberantasan korupsi sepertinya memang menjadi utopia di tanah air. Para terpidana, hanya merasa sebentar ‘ berlibur ‘ di penjara dan begitu keluar ia akan mendapatkan privilege dan penghormatan yang sama seperti ia belum masuk penjara.
Mohtar Lubis meneruskan kalau orang Indonesia punya watak lemah dan karakter kurang kuat. Ia cenderung tepa selira, mudah damai dan memiliki rasa belas kasihan. Ini menjelaskan mengapa tak ada koruptor di hukum mati.
Makanya Tommy Soeharto juga tak terlalu pusing menghabiskan sekian tahun di Nusa Kambangan. Toh, sekarang dia sudah bisa ikutan “ Ford Touring Car Championship “ di Sirkuit Sentul. Sebagaimana dikutip dari kompas.com. Ia mengatakan kegiatan ini hanya olah raga, mencari keringat dan lucu lucuan. Ah betapa senangnya hidup ini.
Pedang dewi keadilan yang buta ini menjadi lelucon keserakahan manusia. Hukum tidak pernah seimbang dan menjadi olok olok. Seperti terpahat dalam batu batuan di Pulau Delos, Yunani. Tatahan tulisan anak anak ribuan tahun lalu mengejek seorang kawan.
Demitrios buta
Dan tidak melihat
Hermios mencuri
Kelereng kelerengnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar